Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela merupakan sebuah memoir sang penulis, Tetsuko Kuroyanagi, salah seorang warga Jepang. Buku ini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, salah satunya bahasa Indonesia. Berkat penerjemah Widya Kirana, buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2008 oleh Gramedia Pustaka Utama dengan tebal 271 halaman.

Melalui memoir ini, Tetsuko, atau yang akrab dipanggil Totto-chan menceritakan pengalaman masa kecilnya yang hidup pada era perang Pasifik. Totto-chan merupakan anak kecil yang kerap kali mendapatkan label ‘nakal’ dari orang-orang di sekitarnya, bahkan oleh guru-gurunya. Ia dikeluarkan dari sekolah karena para guru tidak tahan akan kelakuannya. Oleh karenanya, ibu Totto-chan mendaftarkan dia ke sekolah yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi, yakni sekolah Tomoe Gakuen. Sekolah tersebut merupakan sekolah yang unik karena selain memerdekakan siswanya untuk belajar apa saja, bangunan sekolah itu pun terbuat dari gerbong kereta yang tidak terpakai.

Di Tomoe Gakuen, Totto-chan merasa betah sekolah karena lingkungan yang menurutnya amat menyenangkan. Di sana, para siswa diberikan kebebasan untuk memulai hari dengan belajar apapun. Mr. Kobayashi pun memahami sifat para peserta didiknya. Mulai dari Totto-chan yang memiliki rasa penasaran dan energi tiada habis untuk berbicara, sampai Takahashi seorang anak difabel. Instruksi-instruksi yang diberikan oleh Mr. Kobayashi juga kerap kali unik, misalnya dia menginstruksikan para peserta didiknya untuk membawa bekal yang terdiri atas apapun yang berasal dari laut dan dari pegunungan. Maksud dari perintahnya itu adalah agar anak-anak membawa bekal yang bergizi, yakni sayur dan ikan.

Tingkah dan rasa keingintahuan Totto-chan yang tinggi terfasilitasi oleh Mr. Kobayashi. Dia tidak hanya diajarkan tentang berhitung, bermain musik, atau membaca, tetapi diajarkan pula rasa tanggung jawab dan percaya diri. Salah satu scene yang paling membekas adalah saat Totto-chan kehilangan dompetnya. Dompetnya itu terjatuh di septic tank. Anak kecil banyak akal itu akhirnya menggali septic tank untuk mengambil dompetnya. Saat di tengah proses penggalian, Mr. Kobayashi datang dan dengan santainya bertanya kepada Totto-chan apa yang tengah gadis cilik itu lakukan. Setelah mengetahui alasannya, Mr. Kobayashi hanya mengangguk sambil berpesan, “Kalau sudah selesai, tanah-tanah ini harus kembali ke tempat semula.” Dari respon Mr. Kobayashi itu, Totto-chan dewasa menyadari bahwa hal yang ingin ditanamkan oleh Mr. Kobayashi adalah rasa tanggung jawab atas tindakan diri. Melihat cara Mr. Kobayashi memperlakukan anak didiknya, pembaca akan mendapatkan banyak insight tentang cara pengasuhan anak kecil baik saat di rumah maupun di sekolah.

Berbeda dengan memoir-memoir pada umumnya, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela ini menggunakan bahasa yang amat ringan dan sederhana khas anak-anak. Bahkan urutan peristiwa dari satu bab ke bab lain terkesan ‘loncat-loncat’ dan rancu, but in a good way. Mungkin hal itu disengaja oleh penulis, karena memoir ini bercerita dari perspektif anak kecil yang jalan pikirannya pun masih belum runtut. Karena bahasa yang ringan itu pula, pembaca tidak merasa bosan menekuri tindakan-tindakan unik dari Totto-chan dan teman-temannya. It keeps us wondering what kind of Totto-chan antics that we would find, or what kind of insight that we would get from Mr. Kobayashi.

Seeing how inspiring this book is, tidak heran jika buku ini dijadikan sebagai buku wajib dalam kurikulum pendidikan di Jepang. Jika kalian mencari buku bergenre parenting atau pendidikan, tetapi sangat bosan jika buku tersebut terlalu teoretis, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela inilah jawaban yang tepat. Dengan membaca buku ini, kita mendapatkan perspektif baru dari seorang anak kecil sekaligus peran orang tua dan pendidik. Dari Mr. Kobayashi pula kita diingatkan bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak baik yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengaruh buruk orang dewasa. Mr. Kobayashi berusaha menemukan ‘watak baik’ setiap anak dan mengembangkannya, agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas. (Khurin Wardani Fitroti)

?>