Dengan membaca judul buku ini, para pecinta k-drama pasti langsung teringat oleh salah satu drama Korea yang dibintangi oleh Kim Soohyun dan Seo Yeaji, yakni It’s Okay to not be Okay. Saya pun adalah salah satu oknum yang impulsif membeli buku ini karena drama tersebut, bahkan tanpa membaca sinopsisnya. Lebih tepatnya, bermodalkan konten drama dan ketertarikan dengan sampulnya yang estetik.
Butterfly Hug yang dimaksud di judul ini memang sama dengan istilah yang ada di dalam drama It’s Okay to be not Okay, yakni istilah di bidang psikologi tentang salah satu cara untuk menenangkan diri atau grounding. Mengusung isu tentang penyakit mental, Tenni Purwanti menceritakan pengalamannya sebagai penyintas gangguan kecemasan lewat buku ini. Awalnya, saya mengira buku ini adalah buku self-help yang akan menyuguhi kita dengan kalimat-kalimat afirmasi, tetapi ternyata bukan. Buku ini bukan buku Âself-help, melainkan cenderung sebuah memoar.
Karena sebuah memoar itulah, saya merasa salut sekali dengan penulisnya karena dia berani menceritakan pengalaman-pengalaman pribadinya sebagai penyintas penyakit mental untuk dibaca banyak orang. Tentu perjalanan penulis dalam menerbitkan buku ini sangat sulit, karena dia harus mengunjungi hari-hari atau momen-momen pahit yang ia alami dalam menjalani kehidupan dan berjuang untuk merawat penyakitnya. Berkat buku ini, orang-orang awam mendapatkan gambaran mengenai hal-hal yang dialami oleh penyintas penyakit mental, mulai dari awal muncul simtom serangan kecemasan, perjalanannya ke beberapa psikolog dan psikiater, penemuannya akan pemicu kecemasannya, sampai pada teknik-teknik penanganan serangan panik.
Bagian yang paling saya sukai adalah saat penulis menceritakan pengalamannya tentang teknik grounding yang diajarkan oleh psikolog. Melalui bukunya ini pula, Tenni Purwanti menekankan berkali-kali jika kita merasa ada yang ‘tidak beres’ dalam diri kita, jangan melakukan diagnosis sendiri (self-diagnose) tanpa mencari bantuan ahli karena hal tersebut dapat membahayakan diri kita. Penulis pun memiliki pengalaman tentang self-diagnose ini. menyadari bahwa ada yang ‘salah’ dalam diri kita merupakan langkah awal untuk menolong diri.
“Jika kamu termasuk orang seperti saya, kuatlah, sembuhkan dirimu sendiri dan temui ahlinya.â€
Kemudian, cara penulis mengurai satu-persatu pengalaman sulitnya itu amatlah nyaman untuk dibaca dan dicerna karena kalimat-kalimatnya flowy. Hal ini kemungkinan dipengaruhi juga oleh latar belakang penulis yang bekerja sebagai jurnalis di Narasi. Dengan bahasanya yang lugas dan kuat, Tenni juga menunjukkan kepada banyak orang bahwa penyintas penyakit mental yang lain tetaplah manusia yang sangat berfungsi.
Last but not least, buku ini tentunya memiliki beberapa trigger warning, seperti anxiety attack, symptoms of anxiety attack, mention of suicidal thoughts, OCD (obsessive compulsive disorder), and PTSD (post-traumatic stress disorder). Jadi, jika ingin membaca buku ini, pastikan kalian siap akan trigger warning-nya. (Khurin Wardani)